Saturday, January 3, 2009

Gunung Sindoro, semerbak wangi edelweiss..

. Saturday, January 3, 2009

Waktu blogwalking tadi sempet mampir ke blog salah satu kelompok pecinta alam, ngeliat foto-foto dan review perjalanan mereka ke gunung Sindoro, Jawa Tengah.. Guw jadi ketawa-ketawa sendiri membayangkan kalo dua tahun yang lalu pernah kesana juga, yang membedakan mereka pergi kesana dengan persiapan yang bisa dibilang sangat matang.. alat-alat komunikasi seperti HT pun dibawa.. safety procedure dijunjung tinggi deh.. sementara guw? haha.. tim guw yang terdiri dari tiga anak sekolahan yang masih ece-ece, belum ada yang pernah mendaki kesana.. cuma modal alat seadanya dan niat serta persiapan yang sudah dibangun sejak dua bulan lamanya.. hehe..

nahhhhh, setelah liat review mereka guw jadi terpikir buat masang review perjalanan yang udah guw buat dua tahun lalu.. nih, silahkan dibaca yaaaa... semoga bermanfaat bagi kawan-kawan yang ingin mendaki gunung Sindoro..


review perjalanan gunung sindoro via Kledung

Gunung tua bertipe strato ini secara administratif terletak di kabupaten temanggung dan wonosobo, dengan letak geografinya 70 18' LS dan 1090 59,5' BT. Harumnya bunga edelweiss dari gunung sundoro sangat khas, harum dan segar, karena hal ini gunung ini dinamai sundoro yang artinya semerbak.

5 Juli 2006

Kami berkumpul di sekretariat pukul 10.00. Kami packing ulang dan membagi-bagikan peralatan dan logistik yang akan dibawa. Salman dan Aan lalu pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan yang masih kurang. Nuria pulang ke rumahnya untuk menyiapkan konsumsi selama perjalanan di bis. Setelah dzuhur, kami berkumpul kembali di sekretariat untuk makan siang. Pukul 15.20 kami meninggalkan sekretariat. Ditemani beberapa alumni kami menuju terminal Kampung Rambutan.

Bis Sinar Jaya non AC telah menunggu untuk membawa kami menuju terminal Wonosobo. Semua tempat duduk penuh. Kondisi bis cukup bersih dan nyaman. Setelah meminta doa dan berpamitan, pada pukul 17.20 bis meninggalkan terminal Kampung Rambutan. Suasana selama perjalanan cukup sepi karena banyaknya penumpang yang tidur. Di daerah Pamanukan bis berhenti di rumah makan UUN. Di sini kami makan malam nasi bungkus yang telah dipersiapkan nuria sebelum berangkat. Sepanjang jalur pantura tidak ada kemacetan sehingga kami memperkirakan akan sampai di terminal Wonosobo sekitar jam 04.00.


6 Juli 2006


Kami tiba di terminal Wonosobo tepat pada saat adzan subuh, pukul 04.45. Setelah kami turun, kami langsung menuju sebuah warung kopi yang masih tutup. Disana kami beristirahat sejenak sambil menanyakan transportasi menuju desa kledung kepada tukang ojek. Mereka menyarankan agar kami mengambil jalur tambi saja, karena lebih mudah dan cepat. Tetapi kami tetap pada pendirian dan sepakat tetap mengambil jalur kledung. Keputusan demikina kami ambil karena jalur kledung merupakan jalur utama dan dilalui banyak pendaki.

Dari Terminal wonosobo pukul 5.10, kami lalu naik bis kecil ke arah Magelang. Meskipun masih pagi sekali, bis tersebut cepat dipenuhi oleh pedagang-pedagang dengan barang dagangannya, seperti sayur, tembakau kering dan ayam.


Kami turun di depan gapura desa Kledung, tempat start pendakian Sindoro. Jam menunjukkan pukul 05.50. Rata-rata kondektur bis sudah mengerti kalau kita minta diturunkan di Kledung. Ciri lokasinya, di pinggir jalan sebelah kanan, di samping lapangan bola, ada billboard kecil bertuliskan 'basecamp Sindoro 300 meter' lalu beberapa meter di belakangnya ada satu menara air besar di tengah ladang.


Dari sini kami turun, melewati pintu gerbang desa dengan kantor kepala desa Kledung di sebelah kirinya. Setelah lewat mesjid, belok ke kanan dan ada tanda dari papan kecil untuk lokasi basecamp Sindoro. Turun ke sebuah gang kecil di kanan jalan, dan rumah basecampnya ada di kawasan pemukiman yg cukup padat di sebelah kiri gang tersebut.


Sudah ada satu grup pendaki sedang istirahat di dalam rumah. Mereka adalah kelompok pecinta alam dari sebuah SMA di Kroya yang berjumlah 14 orang. Kami berbincang-bincang dengan salah satu dari mereka (kami lupa namanya) mengenai jalur dan kondisi medan yang akan kami hadapi. Ternyata menurut dia jalur sangat berdebu karena tanahnya berpasir. Selain itu dia juga memberikan saran agar kami jangan turun pada malam hari karena banyak jalur penebang pohon yang dapat membuat kita tersesat. Rumah basecamp Sindoro memang cukup besar, tapi gelap dan agak kotor. Kamar mandinya juga kurang bersih (disarankan menumpang mandi di ex basecamp saja, adanya di sebelah kiri jalan sebelum turun ke gang. Ex basecamp itu kini berfungsi sebagai tempat sablon dan penjualan souvenir).


Di basecamp, tiap grup harus mengisi buku pendaftaran. Biaya daftar Rp 1500/orang. Biaya ini termasuk sewa basecamp, peta dan operasional GRASINDO (Gabungan Remaja Sindoro), apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mereka akan membantu kita selama di gunung Sindoro. Kepala regu harus menitipkan KTP kepada penjaga basecamp. Lokasinya sendiri dikelola oleh 'Grasindo-SAR & Sweep Operation Sindoro Mountain' yang diketuai oleh Mas Ragil (no HP 081328096081). Basecamp juga menjual suvenir seperti stiker (Rp 2.000), badge (Rp 5000), kaos (Rp 25.000), dan sebagainya.. Ada juga warung makanan di sebelahnya dengan menu nasi sayur dan telur. Makanan yang dijajakan disini relatif murah dan teh manis yang disediakan memiliki aroma dan rasa yang khas.


Kami makan pagi dengan menu nasi sayur, semur telur dan kerupuk serta satu gelas besar teh manis asli dari sekitar Kledung. Kami hanya menghabiskan sekitar Rp 3000 per porsinya untuk sarapan enak tersebut. Setelah sarapan kami bertanya-tanya dengan Mas Ragil mengenai jalur dan sumber air di gunung. Ternyata tidak ada sumber air sama sekali. Satu-satunya sumber air hanyalah di basecamp dan katanya semua pendaki sudah turun dari gunung. Jadi kami bertigalah satu-satunya grup pendaki yang akan berada di gunung Sindoro pada hari itu. Meskipun demikian, mental kami tidak turun, malah lebih semangat untuk cepat menggapai puncak Sindoro.


Pendakian akan lebih menyenangkan jika bertepatan dengan tahun baru jawa tanggal 1 Syuro. Pada saat seperti itu jumlah pendaki dapat mencapai ribuan orang, karena masyarakat pada tanggal tersebut sedang mengadakan upacara selamatan memperingati tahun baru jawa. Ada yang melakukan pendakian dengan alasan spiritual maupun dengan merayakan upacara tahun baru di puncak. Upacara dan sesaji itu sangat menarik dan tidak bisa dilihat di daerah lain. Banyak peziarah menuju ke tempat leluhur mereka yaitu Kyai Santri yang makamnya terletak di puncak Sindoro.


Menurut berbagai referensi, pendaki dilarang untuk mendaki pada hari jawa "wage" dan pantangan mendaki juga berlaku pada hari Selasa Kliwon. Larangan mendaki bagi wanita yang sedang datang bulan dan dilarang mengenakan pakaian warna merah. Tetapi menurut Mas Ragil tidak ada pantangan khusus di gunung Sindoro, hanya saja ketika kami ingin memasukkan kantong plastik berwarna hijau yang membungkus logistik ke dalam carrier, Mas Ragil menyuruh kami untuk segera membuangnya. Tidak begitu jelas maksudnya apa, tetapi menurutnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.


Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak antara 8-16 jam dengan menempuh jarak 7 km dari basecamp Kledung. Waktu bervariasi tergantung persiapan bekal maupun fisik pendaki. Karena kami berjalan cukup santai kami membutuhkan sekitar 12 jam untuk mencapai puncak. Untuk turun kembali hanya membutuhkan waktu 5 jam. Medan yang ditempuh tidaklah begitu sulit, sehingga sangat baik bagi para pendaki pemula. Jalur menanjak dengan bebatuan kecil yang labil dan tanah berdebu mendominasi perjalanan menuju puncak.


Jalur lain menuju puncak Sindoro ialah melalui perkebunan teh Tambi yang terletak di barat laut gunung Sindoro. Bila kita melalui Tambi, maka kita akan melewati perkebunan teh yang katanya cukup indah pemandangannya. Tetapi kita harus bersama orang yang sudah pengalaman melewati jalur ini karena jalan di perkebunan yang sangat banyak dan bercabang. Selain itu medan yang akan dihadapi lebih berat dan curam. Oleh karena itu kami tidak mengambil risiko melalui jalur ini. Jalur kledung tetap menjadi pilihan karena kami lebih siap dan mantap melewati jalur kledung.


Perjalanan menuju Puncak


Setelah packing ulang dan mengisi perbekalan air masing-masing 5 liter kami bersiap-siap untuk memulai pendakian pada pagi ini. Satu orang lima liter dengan perkiraan tidak terdapat sumber air selama perjalanan. Air kami ambil dari pancuran karena air di basecamp tidak mengalir dan agak keruh, sedangkan di pancuran selalu mengalir dan sangat jernih. Penduduk desa biasa menggunakan pancuran tersebut untuk suplai air sehari-hari dengan cara ditampung dengan jeriken-jeriken besar. Mereka menggunakan pancuran tersebut karena jarang yang memiliki sumur sendiri. Pancuran tersebut terletak di samping musholla di gang belakang basecamp.


Kledung – Pos I ( Sibajing )


Tepat jam 9 pagi, kami mulai berangkat mendaki. Setelah pamit dan meminta doa restu dari penjaga basecamp dan Mas Ragil, kami mencari jalan setapak untuk mencapai jalur pendakian. Kami telusuri gang-gang desa dan atas petunjuk dari penduduk desa yang ramah-ramah kami menemukan jalan menuju jalur pendakian. Dari basecamp, ikuti terus jalan gang, lalu belok kiri dan melewati sebuah pancuran air tempat kami mengambil air, lalu ikuti jalur tanah di sebelah pancuran yg diapit ladang jagung. Tak lama kemudian jalan tersebut bertemu dengan sebuah jalan cukup besar yang dapat dilewati mobil dari batu yg tersusun rapih. Belok ke kanan, jalan agak menanjak diapit oleh ladang tembakau dan sayur-sayuran yang merupakan komoditi utama pertanian masyarakat desa kledung dan lereng sindoro pada umumnya.


Sepanjang jalur ini tidak ada pohon besar untuk bernaung. Untunglah saat itu cuaca agak mendung dan berkabut sehingga kami tidak kepanasan. Sebenarnya kalau mau pendaki bisa juga naik ojek dari gerbang desa Kledung sampai ke ujung jalan batu tadi. Jarak yang ditempuh sekitar dua kilometer, atau berjalan selama 40 menit. Untuk perjalanan turun Rp 5000 saja, tapi untuk perjalanan naik kami lupa menanyakannya. Pasti lebih mahal.


Di tengah perjalanan kami ditemani oleh seorang penduduk desa yang akan pergi ke ladangnya. Kami berbincang-bincang sedikit mengenai hasil pertanian di lereng Sindoro. Tembakau, kol, kubis dan kentang merupakan hasil utama tanah Sindoro. Saat kami mendaki Sindoro, kondisi tanaman tembakau sangat kering karena minimnya suplai air dan tidak adanya hujan selama dua bulan. Oleh karena itu, menurutnya tembakau musim panen kali ini harganya akan turun karena kualitasnya kurang baik.


Makin lama jalan batu kian menyempit dan akhirnya berhenti di depan sebuah bukit kecil. Dari sini jalurnya berubah menjadi jalan setapak yg diapit ladang buah labu dan jagung.


Pembabatan hutan untuk diubah jadi ladang memang terlihat ganas di Sindoro. Praktis tidak ada sisa hutan di sini, semua sudah ditebangi sampai ke puncaknya. Tidak ada lagi pohon besar, yang ada cuma alang-alang serta pohon lamtoro. Untuk mencapai pos I ( Sibajing ) diperlukan waktu sekitar dua jam dengan berjalan santai.


Pos I – Pos II ( Cawang )


Kami sampai di pos I pukul 11.00. Terdapat bekas api unggun, mungkin bekas pendaki yang dari Kroya.. Pos I berupa bangunan beratap yang bisa digunakan oleh para pendaki untuk berlindung dari hujan. Pos ini terletak di sebelah kiri jalan dan bisa didirikan 2 buah tenda oleh para pendaki. Di sini kami berusaha untuk melakukan resection, tetapi kami tidak dapat menentukan posisi kami karena posisi kami yang berada di sebuah lembah dan tebalnya kabut yang menyelimuti kami. Sayangnya kami belum mengetahui dari mana asal nama dari pos Sibajing
. Untuk sampai di pos II pendaki masih harus melalui jalan tanah liat dengan medan yang masih sama seperti sebelumnya. Waktu yang diperlukan sekitar 45 menit untuk sampai di pos II.

Sebelum sampai di pos II kita akan menemui percabangan jalan yang dikenal dengan sebutan simpang buntu. Disini kami harus mengambil jalan yang kekanan, karena jalan yang lurus merupakan jalan buntu yang berakhir di sebuah jurang dan tidak sedikit para pendaki yang tersesat disini. Ciri-ciri simpang buntu dari arah Kledung yaitu pertigaan jalan yang bercabang lurus dan ke kanan. Jalan tersebut sama besar dan lebarnya. Di sudut pertemuan jalan yg lurus dan ke kanan terdapat sebuah batu bulat setinggi dengkul. Jalan yang lurus akan menurun, sedangkan yang ke kanan rata dengan jalan tanah dengan tanah sisi kiri lebih tinggi daripada sisi kanan. 200 meter setelah simpang buntu, jalan akan berbelok ke kiri dan menanjak kembali. Sepanjang jalan, kami mencari tanda-tanda alam untuk melakukan resection. Tetapi kabut yang tebal masih menyelimuti kami. Kami pun berusaha agar tidak saling berjauhan.


Jalurnya sendiri cukup jelas. Tapi di beberapa tempat ada persimpangan menuju jalur-jalur pengambil kayu bakar. Agar tidak keluar dari jalur, ikuti saja tanda-tanda yang telah sengaja dibuat antara lain mengikuti tanda panah dari cat merah yg ditulis sepanjang jalur dan lembaran-lembaran seng bertuliskan “Puncak” yang banyak terdapat di pohon dan batu-batu besar.


Pos II – Pos III ( Seroto )


Pos II ini terletak di sebelah kiri jalan. Kami sampai di pos II pukul 11.55. Menurut berbagai referensi, dahulu di pos ini terdapat bangunan yang sudah rubuh dan hanya tersisa atapnya saja, namun saat kami mendaki kami tidak menemukan pos II yang dimaksud. Kami hanya menemukan sebuah bangunan tidak jauh sebelum pos III beratap dan kondisinya masih sangat baik.


Selepas dari pos II ini para pendaki akan melewati semak-semak dan kawasan hutan pinus yang mulai menanjak dengan jalur pendakian yang agak curam untuk sampai di pos III (Seroto). Setelah Pos II dilalui pendaki akan mulai merasakan bekas-bekas hutan raya Sundoro yang dahulu sangat rimbun dan alami.


Sebelum mencapai pos III kita akan menemui sebuah bangunan baru dengan kondisi masih baru dan bisa untuk mendirikan dua buah tenda. Bangunan ini belum didaftar di dalam peta yang ada di basecamp.


Jalur ini sedikit panjang jika dibandingkan dengan jalur-jalur sebelumnya dan untuk mencapai Pos III diperlukan waktu ± 2 jam. Hati-hati juga didalam memilih jalan di setiap percabangan, carilah petunjuk atau tanda yang sengaja dibuat agar kita bisa mengambil jalan yang benar. Sepanjang perjalanan menuju pos III, kami ditemani oleh ayunan lagu dangdut yang terdengar dari desa di bawah. Hal tersebut membuat kami menikmati perjalanan ini.


Pos III ( Seroto ) – Puncak Sundoro


Kami tiba di pos III pukul 15.10. Pos III ini berada di tengah hutan pada sebuah area yang sangat terbuka tepatnya di sebelah kiri lintasan. Tidak terdapat bangunan ataupun pondok untuk berteduh. Di pelataran pos III tidak terdapat pepohonan sehingga tidak terlindung dari hembusan angin yang cukup kencang. Tempat ini cocok untuk rombongan pendaki yang berjumlah sangat banyak karena dapat menampung lebih dari 10 tenda doom. Kabut tebal masih menyelimuti kami, sehingga kami belum dapat melakukan resection. Setelahnya kami segera melanjutkan perjalanan dengan harapan tiba di taman edelweiss sebelum maghrib.


Karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, maka kami memutuskan untuk mencari lahan untuk mendirikan tenda. Satu jam selepas pos III kami menemukan sebuah areal yang terlindung oleh semak-semak yang cukup tinggi di sebelah kiri lintasan. Segera saja kami mendirikan tenda dan menyiapkan makan malam.


Makan malam kami adalah nasi yang dibawa dari basecamp serta lauk berupa sosis, bakso dan abon. Karena sangat kelaparan, kami menyantapnya dengan sangat lahap. Segelas wedang jahe menghangatkan suasana tenda yang diisi dengan sendau-gurau. Tidak lupa sebelum tidur kami melaksanakan review dan briefing untuk rencana perjalanan esok hari. Kami mereview kegiatan selama ini, mulai dari keberangkatan hingga berada di dalam tenda. Saat itu kami semua menyampaikan keluhan selama perjalanan dan mendiskusikannya agar perjalanan esok hari lebih menyenangkan. Lalu kami merencanakan untuk menaruh sebagian perbekalan air di suatu tempat yang mudah dikenali untuk perjalanan turun. Demikian kami lakukan untuk efisiensi tenaga dalam pencapaian puncak. Dan setelah turun dari puncak kami tidak lupa mengambil kembali air yang kami simpan di semak-semak tersebut.


7 Juli 2006


Pagi-pagi sekali pukul 02.15 kami dibangunkan oleh suara radio yang terdengar dari bawah. Aan bersama Salman mencari tahu dari mana sumber bunyi tersebut. Di bawah terlihat samar-samar cahaya senter yang dibawa oleh sekelompok orang. Aan menunggu di luar tenda untuk mencari tahu siapa mereka. Kami sempat was-was karena banyaknya cerita mengenai rampok dan kejahatan terhadap pendaki di gunung Sindoro.


Suara langkah kaki terdengar semakin jelas dan syukurnya mereka adalah kelompok pendaki yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Kami berbincang-bincang sebentar dan mereka segera melanjutkan perjalanan karena ingin mengejar sunrise di puncak.


Waktu tidak kami sia-siakan. Kami segera masak untuk makan pagi. Menu masih sama seperti kemarin malam, nasi yang kami masak pagi itu dan sisa sosis dan abon bekas semalam. Teh panas dan energen menambah tenaga untuk melanjutkan perjalanan pada hari ini. Pukul 04.30 makanan sudah habis disantap, dilanjutkan dengan shalat subuh bergantian karena minimnya tempat di dalam tenda. Setengah jam kemudian barang-barang di dalam tenda berhasil dikeluarkan, kemudian dilanjutkan dengan membongkar tenda.


Tepat pukul 05.40 tenda dan peralatan lainnya telah dimasukkan ke dalam carrier dan kami pun sejenak melihat pemandangan pagi yang sangat indah. Siluet megahnya gunung Sumbing terlihat di sebelah selatan, Merbabu dengan puncak-puncaknya, Merapi yang berbentuk kerucut dan Lawu yang terlihat memanjang di sebelah tenggara. Setelah berfoto, perjalanan dilanjutkan dengan diawali berdoa untuk memohon keberhasilan dan keselamatan dalam perjalanan ini.


Selepas pos III ini pendaki kembali dihadapkan dengan medan yang menanjak dan cukup curam. Banyak bebatuan yang sering longsor bila kita injak dan banyak lubang-lubang bekas aliran air. Jalurnya pun sangat berdebu. Untuk sampai di puncak sundoro kami membutuhkan waktu 5 jam dari tempat kami ngecamp.


Kalau di Gede jalurnya berliku-liku, maka jalur Sindoro model 'hajar langsung'.
Tidak heran sering ada tanjakan 'dengkul ketemu muka' karena terjalnya. Kondisi tanah berpasir juga membuat jalur licin dan debu yang beterbangan cukup mengganggu penglihatan. Kalau hujan, kemungkinan jatuh terpeleset bertambah besar. Dengan kondisi medan seperti ini masker dan kacamata cukup diperlukan. Karena kondisi alam yang gersang dan jarang pepohonan perlengkapan penghangat badan seperti jaket mutlak diperlukan. Demikian karena angin yang bertiup cukup kencang dan dingin.

Kami menemukan tempat yang baik untuk resection. Tapi posisi kami tidak kami dapatkan karena puncak yang belum terlihat ditambah lagi dengan tidak adanya jalur pendakian dalam peta yang kami peroleh dari BAKOSURTANAL.


Perjalanan di hutan sundoro akan berakhir dan berganti dengan perjalanan di Taman Edelweiss yang merupakan jalur terindah dalam perjalanan menuju Puncak Sundoro. Disini para pendaki akan terkesima dengan pemandangan alam yang terbentang. Daerah ini menjadi perbatasan antara hutan tropis sundoro dengan daerah terbuka yang didominasi dengan semak-semak rendah dan pohon edelweiss. Karena hari sudah siang, jalur ini merupakan jalur terpanas dan terberat karena sangat terbuka dan lingkungannya yang sangat gersang. Banyak pohon-pohon edelweiss yang sudah mati berwarna hitam, mungkin karena terbakar oleh sengatan sinar matahari yang sangat tajam.


Setelah melewati jalur taman ini, kami akhirnya setelah 5 jam berjalan, mencapai Puncak Sundoro tepat di depan Segoro Banjaran. Di puncak sundoro terdapat dua tempat, yang satu bernama segoro banjaran dan yang satunya bernama segoro wedi, entah dari mana asalnya tapi yang jelas memang di puncak sundoro merupakan puncak yang unik karena terdapat hamparan pasir (wedi) yang cukup luas bahkan sangat baik untuk acara-acara permainan seperti bermain bola dan sebagainya. Di segoro banjaran terdapat mata air, tetapi kami tidak menuju ke sana karena letaknya yang sangat dalam dan jauh di dalam kawah.


Dari jalur kledung ini pendaki dapat berjalan mengitari puncak dan menuju lapangan upacara (alun-alun) yang terdapat di puncak utara gunung ini. Alun-alun inilah yang menjadi akhir pendakian dari jalur Sigedang (perkebunan tambi). Bila pendaki ingin turun dengan menggunakan jalur sigedang ini maka pendaki dapat memulainya tepat di mulut punggung utara atau sekitar lapangan upacara.


Pemandangan dari puncak sundoro sangat menakjubkan, kita dapat menyaksikan semua gunung di jawa tengah, yaitu gunung merapi, merbabu, dan lawu di tenggara. Sumbing di selatan terlihat dengan jelas, gunung slamet dieng plateu dan ciremai di barat dan gunung Ungaran di timur. Oleh karena itu beberapa orang, termasuk kami berpendapat bahwa pemandangan dari puncak Sindoro merupakan pemandangan puncak terbaik.


Perjalanan Turun


Usai istirahat dan foto-foto, baik foto pemandangan sekitar puncak maupun foto-foto narsis kami mulai untuk perjalanan turun. Jalur yang curam membuat perjalanan turun harus hati-hati. Karena sudah jam setengah satu, dan takut terkena malam, akhirnya perjalanan turun segera kami lakukan.


Jalur yg monoton penuh batu besar membuat perjalanan turun membosankan. Meskipun demikian, perjalanan turun terasa sangat cepat. Selain karena beban yang sudah berkurang, kami ditemani grup pendaki dari Jepara. Jam 4 sore kami sampai di pos 2 dan segera melaksanakan kewajiban shalat. Jam 5 sudah bertemu jalur batu lagi. Dan jam setengah tujuh akhirnya sampai di basecamp. Suasana basecamp ternyata sangat ramai, berbeda saat kami datang kemarin. Sudah ada banyak regu pendaki dari berbagai kota, diantaranya Magelang, Semarang, Kudus dan Jogjakarta. Karena sedang weekend banyak yang mendaki gunung Sindoro. Kami mendapat pelajaran bahwa jika ingin mendaki sebaiknya pada weekend, karena banyak pendaki lain sehingga tidak kesepian sepanjang perjalanan.


Malam itu kami menginap di basecamp setelah tentunya meminta izin kepada penjaganya. Selesai sudah perjalanan wajib kami bertiga, setelah makan malam dengan menu sama, yaitu nasi sayur dan semur telur dan shalat, kami bertiga langsung terlelap dalam mimpi karena sudah letih dan capek.


Esok harinya kami menyempatkan diri berkeliling desa kledung. Keramahan penduduk desa sangat terasa. Setiap bertemu penduduk desa, mereka selalu menyapa kami. Kemudian kembali ke basecamp. Setelah menyantap nasi sayur dan onde-onde ditemani segelas teh, kami membersihkan diri dan bersiap-siap untuk perjalanan pulang. Kami kembali dengan bis yang sama persis seperti saat berangkat. Sinar Jaya seat 2-2 non AC. Sinar Jaya kami pilih karena sudah terbukti kenyamanan dan keamanannya selama perjalanan berangkat.


Berkat doa dari semua pihak kami telah mencapai puncak gunung Sindoro dan berhasil kembali ke basecamp. Tetapi kami tidak sempat menguak misteri-misteri, terutama yang berhubungan dengan hal gaib di gunung Sindoro yang juga merupakan daya tarik pendaki untuk mengunjungi sebuah gunung.


Jam 10 siang, kami sudah nongkrong di pinggir jalan raya Magelang-Wonosobo, menunggu bis ke terminal Wonosobo. Usai sudah pendakian Sindoro yg cukup capek tapi

lumayan menyenangkan ini.

foto-foto menyusul yah.. lagi mau siap-siap UAS nih, blum sempet ngupload foto-foto yang masih belom ketemu jg dimana nyimpennya.. hehe..

1 comments:

Boneka Horta said...

ada yang mau menambahkan catatan perjalanannya?

boleh donk di share.. :D

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 
lika liku anak ilank is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Power by blogtemplate4u.com